Pada saat awal tahun 2000-an sampai sekitar satu dekade setelahnya, BlackBerry adalah smartphone idaman. Tapi kedatangan iPhone di tahun 2007 disusul kemunculan Android, mengubah segalanya. Kurangnya kewaspadaan para bos BlackBerry pada iPhone ternyatanya berperan besar dalam jatuhnya perusahaan BlackBerry.
Dalam buku Losing the Signal: The Untold Story Behind the Extraordinary Rise and Spectacular Fall of BlackBerry karya Jacquie McNish dan Sean Silcoff, banyak diceritakan mengenai kejayaan dan kejatuhan BlackBerry, dulu bernama Research in Motion (RIM).
Pada tahun 2007, Steve Jobs memperkenalkan iPhone generasi pertama. Ia mendemonstrasikan ponsel layar sentuh itu yang berfokus pada hiburan, dari download musik, memutar video atau mengakses peta.
Waktu itu, RIM dipimpin dua CEO, Mike Lazaridis dan Jim Balsillie. Sesaat setelah iPhone diperkenalkan, Lazaridis mempertanyakan mengapa kemampuan browser iPhone lebih baik. “Mereka punya web browser full di benda itu. Bagaimana mereka bisa melakukannya? Operator tak mengizinkan kita melakukannya,” tanya Lazaridis.
“Mereka memang sangat bagus. Benda ini memang beda,” puji Lazaridis. “Memang oke, tapi kami akan bertahan,” jawab Balsillie.
iPhone kemudian dianggap bukan ancaman bagi BlackBerry yang masih jaya. “Ini bukan ancaman bagi bisnis inti RIM. iPhone tidak aman, baterainya cepat habis dan keyboard digitalnya susah,” ucap Larry Conlee, penasihat Lazaridis.
Meski iPhone laku, bos RIM berpendapat terbatas hanya untuk konsumen yang lebih memilih membuka YouTube dan layanan internet lain daripada efisiensi dan keamanan. Dua hal itu memang jagoan BlackBerry kala itu, keamanan tingkat tinggi.
iPhone memang banyak diremehkan di awal kelahirannya. Baterainya hanya tahan delapan jam, koneksinya cuma 2G. Seharusnya produk itu gagal di pasar, tapi ternyata tidak. “Dengan semua faktor itu seharusnya iPhone gagal, tapi ternyata tidak demikian,” kata David Yach, Chief Technology Officer RIM.
Ternyata orang tetap membeli iPhone, salah satunya karena desain yang bagus. “Saya belajar bahwa keindahan desain itu berarti. Orang mau membeli produk ini,” tambah Yatch. Tiga bulan pertama penjualannya, iPhone sudah laku lebih dari sejuta unit.
Mengantisipasi ancaman iPhone yang tak diduga bisa laris manis, RIM memutuskan mengeluarkan BlackBerry Storm yang navigasinya layar sentuh. Awalnya produk ini laku karena nama BlackBerry masih tenar dan ditunjang marketing besar. Tapi teknisi RIM tahu kalau Storm bukan produk yang matang.
Browsernya lambat, layar sentuhnya susah digunakan dan kerap hang. Banyak konsumen tak jadi membelinya. Dan akhirnya Storm dipandang produk gagal. Banyak yang rusak dan harus diganti sehingga menimbulkan kerugian tak hanya bagi RIM tapi operator yang memasarkannya.
Untuk pertama kalinya setelah sukses luar biasa di hampir semua ponselnya, RIM punya produk gagal. Banyak pihak mulai bertanya-tanya apakah RIM mampu bersaing dengan iPhone.
“Semua orang kecewa karena kegagalan Storm. Moral di organisasi jadi turun,” kata COO RIM, Don Morisson yang dikutip detikINET dari The Australian.
Tapi Lazaridis bersikeras kalau Storm bukanlah kegagalan. Baginya, Storm adalah percobaan pertama RIM menggunakan teknologi baru. Ia mengambil sisi positif Storm seperti kameranya lumayan, speaker bagus dan baterai bisa diganti.
zaridis menilai Storm harus menjadi lebih baik. Maka Storm 2 pun dirilis. Tapi lagi-lagi sayangnya, penjualannya tak sesuai harapan.
iPhone yang kemudian terus menuai sukses membuat RIM kebingungan. Tapi mereka tetap yakin smartphone dengan keyboard fisik yang aman akan tetap digemari. Sehingga beberapa lama, mereka tetap fokus pada ponsel semacam itu. Apalagi ponsel layar sentuh Blackberry setelah generasi Storm pun tetap kurang menarik perhatian pasar.
RIM yang sekarang bernama BlackBerry gagal mengeksekusi dengan baik semua strateginya. Selain iPhone, deretan produsen Android sukar dilawan. Mereka kini tidak lagi membuat ponsel sendiri dan fokus pada bisnis software. Pembuatan perangkat diserahkan ke perusahaan pihak ketiga dengan sistem lisensi.
souce: detik.com